
Jakarta, IDN Times – ISMILE Preschool (Permata Hijau dan Menteng) kembali mempersembahkan Project Work Showcase, sebuah pameran tahunan yang merayakan keajaiban rasa ingin tahu dan potensi besar dalam diri setiap anak. Mengusung filosofi Reggio Emilia, pameran ini menampilkan hasil eksplorasi mendalam anak-anak dari kelompok balita hingga taman kanak-kanak (usia 2-6 tahun).
Setiap proyek, mulai dari tema Turtles, Dinosaurs, Self-Expression, hingga Fruits merupakan cerminan dari perjalanan belajar yang diawali oleh rasa ingin tahu alami anak-anak sendiri. Lebih dari sekadar memamerkan karya, Project Work Showcase jadi wadah bagi anak-anak untuk menunjukkan pemikiran kritis, kreativitas, dan semangat kolaboratif mereka. Pada Senin (28/4/2025), IDN Times berkesempatan untuk melihat exhibition ini yang berlokasi di ISMILE Preschool Permata Hijau, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Yuk, ketahui latar belakang hingga proses Project Work Showcase ini!
1. Terinspirasi dari filosofi Reggio Emilia

Filosofi Reggio Emilia adalah pendekatan pendidikan anak usia dini yang berpusat pada anak. Pendekatan ini percaya bahwa setiap anak adalah individu yang kompeten, penasaran, kreatif, dan memiliki potensi besar. Anak-anak didorong jadi pemimpin dalam proses belajar mereka sendiri melalui eksplorasi, pertanyaan, dan kolaborasi.
“Di sekolah ini, kita ada kelas nursery dan kindergarten. Kami menggunakan berbagai metode pembelajaran, salah satunya adalah project work, yang terinspirasi dari pendekatan Reggio Emilia di Italia. Anak-anak diajak untuk mengeksplorasi minat mereka,” ujar Halim Suheppy, Curriculum Coordinator ISMILE Preschool.
Halim melanjutkan, di tiap kelas pun anak-anak mengerjakan proyek yang berbeda, tergantung ketertarikan mereka. Para pengajar mencoba untuk memproses topik hingga mengerucut, lalu setiap hari guru melakukan provocation (pemancingan ketertarikan).
2. Proses pembuatan proyek ini diawali dengan rasa penasaran anak-anak

Selama tiga bulan, mereka terlibat aktif dalam eksplorasi yang mendalam. Mereka melakukan penelitian, berinteraksi dengan para ahli, mengembangkan pertanyaan-pertanyaan kritis, bereksperimen menggunakan berbagai bahan, dan bekerja sama dengan teman-teman mereka.
Seluruh proses ini berpusat pada pertanyaan reflektif seperti, ‘Apa yang sudah saya pahami?’ dan ‘Apa lagi yang ingin saya pelajari?’. Hal itu memperkuat rasa ingin tahu alami mereka, mengasah beragam kecerdasan, serta mendorong perkembangan yang menyeluruh.
“Bagi anak-anak kecil yang minatnya sering berubah, guru membuat set-up seperti tema “sea animals” atau “jungle” untuk melihat ketertarikan mereka. Dari situ, proyek dikembangkan berdasarkan observasi minat anak-anak,” tutur Halim.
3. Menggunakan metode KWL

Ada pun metode yang digunakan untuk proyek ini adalah KWL atau Know, Want to Know, dan Learned. Di bagian Know, anak-anak diminta untuk mengungkapkan apa yang mereka ketahui tentang topik yang akan diangkat. Misalnya, topik atau tema terkait dinosaurus, anak-anak akan diminta untuk mengungkapkan apa yang mereka tahu tentang dinosaurus.
“Setiap proyek itu, kita mulainya dengan yang namanya KWL. Jadi, fase pertamanya itu K, stands for Know. Apa yang mereka sudah tahu. Jadi, itu nanti gurunya akan list down. Lalu, nanti fase kedua itu akan ditanyakan, Want to Know. Kadang-kadang, yang mereka mau tahu itu rada-rada really out of the box,” ucap Supiani Winata, Direktur ISMILE Preschool.
Selanjutnya, Want to Know. Di topik ini, anak-anak diminta untuk mengungkapkan apa yang ingin mereka tahu dari dinosaurus. Langkah terakhir adalah Learned, anak-anak kemudian mulai mempelajari dan mencari tahu apa yang membuat mereka penasaran.
“Terus, abis itu mereka akan try to discover. Mereka eksperimen. Mereka bikin hipotesis. Semua cukup dalam dan lebar sekali hanya dengan satu topik itu. Setelah itu, baru towards the end. The last phase itu mereka akan mendokumentasikan,” lanjut Supiani.
4. Tetap tidak menghilangkan jadwal utama anak-anak di kelas

Meskipun Project Work memberi ruang besar untuk eksplorasi dan kreativitas anak, kegiatan akademik utama tetap berjalan beriringan. Anak-anak tetap belajar akademik seperti biasa. Hanya saja, semua keterampilan ini diintegrasikan secara alami ke dalam proyek yang mereka kerjakan.
“Kalau di kindergarten, kayak belajar baca gitu, belajar tulis, belajar berhitung. Ketika mereka belajar yang bikin castle itu kan, mereka harus hitung berapa dus yang diperlukan,” kata Halim.
Dengan pendekatan ini, pembelajaran akademik tidak lagi terasa terpisah dari aktivitas sehari-hari. Proses belajar jadi lebih bermakna karena anak-anak menerapkan keterampilan membaca, menulis, dan matematika dalam konteks nyata.
Seperti yang dijelaskan Supiani, “Akademiknya pun sudah kami infuse, sudah diintegrasikan ke dalam proyek.”
Anak-anak tidak hanya sekadar menghafal atau mengisi worksheet, tetapi benar-benar menggunakan kemampuan akademik mereka untuk menyelesaikan tantangan yang mereka hadapi dalam proyek.
5. Proyek ini juga melibatkan keterlibatan orangtua

Salah satu aspek unik dan indah dari project work ini adalah keterlibatan orangtua dan komunitas sekolah secara luas. Hal ini mempertegas bahwa proses belajar adalah perjalanan kolaboratif antara sekolah dan rumah.
“Jadi, ini semuanya kan dari anak-anak, dari rasa ingin tahu anak-anak. Kalau di sini, kita sebagai pendidiknya adalah co-researcher, co-learner-nya anak-anak. Di rumah, orangtuanya yang jadi fasilitator dan co-researcher. Co-learner-nya anak-anak mereka,” lanjut Supiani.
Pameran Project Work ini merupakan cerminan nyata dari filosofi pendidikan ISMILE. Mereka berpusat pada anak, pembelajaran berbasis pertanyaan (inquiry-driven), dan berkomitmen untuk membuka segala potensi dalam diri setiap anak.